Kamis, 28 Maret 2013

Jumat Agung:Merayakan Ketiadaan “Tetapi”

Jumat Agung:Merayakan Ketiadaan “Tetapi”

OPINI | 21 April 2011 | 18:16
Diantara jutaan kata yang tertera, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “tetapi” adalah kata yang maknanya tidak dapat berdiri sendiri. Ia hanya sebuah konjungsi yang menghubungkan satu kalimat dengan kalimat lainnya atau untuk mengingkari satu pernyataan dengan pernyataan lainnya. Fungsinya tidak lebih dari itu.
Akan tetapi, pernahkah kita berpikir bahwa kata “tetapi” mempunyai sebuah kekuatan yang dahsyat? Ia mampu menjungkirbalikkan sebuah kebenaran, bahkan dunia ini sekalipun. Mengapa?
Manakala kata “tetapi” dijadikan sebuah alat untuk menjungkirbalikan sebuah fakta, maka di sinilah letak kelihaian manusia mempermainkan kata. Ketika hitam dirasionalisasikan menjadi putih, maka nurani kian tumpul karena kata ini.
Saya dan anda secara sadar atau tidak sering menggunakan kata “tetapi”. Kita mudah menyembunyikan aib, mengabaikan moral demi sebuah prestise, reputasi, gengsi, dll, hanya dengan gesit berkelit menggunakan kata “tetapi.” Sebuah kebenaran akan ternoda manakala ia diikuti oleh kata “tetapi,” atau sebuah kesalahan mudah diadaptasi menjadi sebuah kalimat yang enak didengar yang maknanya tidak seekstrem makna aslinya hanya dengan kata “tetapi.” Meskipun aslinya, kita bukan siapa-siapa dan bukan apa-apa. Namun manakala keaslian itu dinodai oleh kata “tetapi,” maka kita pasti menjadi “aspal” (asli tapi palsu).
Jikalau kita meringsek lebih jauh, satu hal yang begitu kontradiktif apabila kita membandingkan ke-aspal-an kita dengan cinta yang telah Yesus berikan. Yesus telah memberikan cintanya tanpa syarat; tanpa kata “tetapi.” Ia tak pernah mengingkari salib berat yang dibebankan pada pundak-Nya. Ia rela taat kepada kehendak Bapa-Nya untuk memanggul salib sebagai jalan satu-satunya untuk menebus dosa manusia.
Mengapa harus salib dan bukan yang lain? Inilah letaknya misteri cinta dari Allah Tritunggal kepada manusia milik kepunyaan-Nya. Hal ini mengingatkan kita juga akan misteri Natal yang telah kita rayakan atau misteri “Inkarnasi” Putera Allah-Yesus Kristus-Sang Imanuel-Allah beserta kita. Natal dan Paskah, Betlehem dan Kalvari, Inkarnasi dan Salib adalah dua peristiwa penting yang tidak bisa dipisahkan untuk memahami hakekat iman Kristiani. Dan persis pada dua misteri inilah, sebagai manusia biasa: lidah kita menjadi kelu, mulut kita menjadi bungkam, dan kita hanya mampu berlutut dan mengucap syukur atas “Anugerah Allah yang terbesar dalam hidup kita, yakni: Yesus Kristus, Putera Tunggal Allah sendiri yang telah menghampakan diri, menjadi sama dengan manusia, untuk mengalami nasib manusia.”
Inilah sikap apovatis atau diam, sujud, menyembah dengan penuh rasa terima kasih seperti para gembala dan tiga majus dari Timur. Mereka kehabisan kata-kata, ketika berhadapan dengan Yesus, bayi lemah yang terbaring di dalam palungan di sebuah kandang yang hina dina. Begitu pun di atas Salib, ketika Yesus telah menghembuskan nafas-Nya yang terakhir, kepala pasukan Romawi kehabisan kata-kata dan hanya mampu meyembah dan berkata: “sungguh orang ini Putera Allah.”
Sebagai umat beriman, yang telah merayakan Natal pada Desember silam, kita disentak kesadaran dari tidur panjang dan diantar masuk ke dalam salah satu peristiwa penting iman kita yakni “misteri inkarnasi” Putera Allah. Sama seperti Salib, kita pantas bertanya: “mengapa Yesus tidak datang sebagai sorang Raja yang gagah perkasa, tetapi memilih dikandung oleh seorang wanita sederhana dari pedalaman Nasareth: Maria? Mengapa Yesus yang adalah Anak Allah, mau dilahirkan oleh seorang wanita dan bergantung sepenuhnya pada pemeliharaan dan perawatan wanita ini baik di dalam kandungan maupun setelah  dilahirkan? Padahal Allah adalah mahakuasa, dan dengan kemahakuasaan-Nya, Ia mampu hanya bersabda saja, seperti ketika Ia menciptakan segala sesuatu hanya dengan Sabda-Nya dan semuanya terjadi. Allah dengan kemahakuasaan dan kedigdayaan-Nya mampu melakukan semuanya itu sendiri tanpa memerlukan Maria dengan  meminta persetujuan Maria via malaikat Gabriel. Bisa saja Yesus diutus untuk menyelamatkan umat manusia, tanpa perlu menjadi seorang bayi lemah..lha wong Dia mahakuasa kog!! Begitu pun dengan Salib. Allah tidak perlu memakai salib sebagai sarana untuk menebus dosa umat manusia. Dia hanya bersabda saja, maka semuanya selamat.
Akan tetapi, kenyataan dari kedua peristiwa penting iman kita ini, Allah tidak memakai kedigdayaan-Nya, melainkan menjadi bayi lemah, yang dilahirkan di kandang di Betlehem tanpa gegap gempita dan sorak-sorai keagungan seorang Raja yang gagah perkasa. Yesus pun tetap memilih untuk taat memanggul salib-Nya ke puncak Kalvari demi dosa-dosa kita. Apa penyebabnya?
Inilah misteri cinta kasih Allah yang meluap-luap kepada manusia. Allah mau mengambil rupa seorang hamba untuk menjadi sama seperti kita dalam segala hal kecuali dalam hal dosa, dan taat sampai mati di kayu salib untuk meyelamatkan kita agar kita diterima sebagai Anak-anak angkat Allah dan boleh sama seperti Yesus menyebut Allah Bapa-Nya, sebagai Bapa kita juga oleh karena kekuatan Roh Kudus yang telah dicurahkan dalam hati kita. Inilah Allah yang mau berbela rasa dengan nasib umat manusia, sehingga Ia rela menjadi “Allah yang beserta Kita” (Imanuel) melalui inkarnasi dan salib, melalui Natal dan Paskah, melalui Betlehem dan Kalvari. Allah mau mengalami bagaimana persisnya penderitaan kita, duka dan air mata kita, bagaimana suka dan duka sebagai seorang manusia, sehingga Ia rela merendahkan diri dan mengganggap kesetaraan dengan Allah bukan sebagai milik yang harus dipertahankan, untuk menjadi sepenuhnya manusia sama seperti kita mulai dari kelahiran-Nya di Betlehem sampai wafat-Nya di Kalvari. Inilah misteri cinta Allah yang dahsyat dan luar bisa, yang pantas kita terima dengan penuh syukur: bahwa Ia mau menjadi manusia sama seperti kita kecuali dalam hal dosa untuk menyelamatkan kita.
Sebagai umat beriman kita tentu meyakini bahwa Yesus tidak harus mati pada kayu palang dengan cara seperti itu sebagai konsekuensi kedigdayaanNya. Namun kita perlu menelusuri realita yang terjadi secara de facto: ada apa di balik beban yanag Ia panggul itu. Ada begitu banyak orang yang mengikuti Yesus saat Ia memanggul salib-Nya, namun Ia toh tetap memikul salib-Nya seorang diri sampai akhirnya Ia mati dengan tangan terentang di atas kayu salib. Seorang filsuf pernah menguraikan dan menafsirkan apa arti rentangan kedua tangan Sang Juru Selamat yakni: begitulah besarnya cinta Yesus kepada manusia dan tidak ada cinta yang lebih besar dari itu, cinta seorang yang mau memberikan nyawah-Nya sendiri sebagai bagi para sahabat-Nya.
Karena itu, sungguh sebuah tragedi sekaligus ratapan bagi Yesus -ketika dengan gigih Ia memanggul salib tanpa alasan …..”tetapi ini kan untuk manusia“-, kita malah hadir di tengah keletihan dan kedahagaan Yesus sambil melontarkan pertanyaan: Yesus kutanya apa sebabnya kau panggul salib ke Golgota, dalam lagu-lagu kita. Kalau kita berdalih: “……”tetapi” itukan hanya nyanyian yang mesti kita nyanyikan”. Lantas dimana kesadaran kita? Dapat ditarik sebuah konklusi bahwa kita bernyanyi tanpa sebuah kesadaran dan pengetahuan bahwa Ia memanggul salib demi cintaNya yang begitu besar untuk kita.
Cinta kasih Allah yang takterlukiskan dengan kata-kata adalah “kunci hermeunetis” untuk memahami makna inkarnasi dan salib, Betlehem dan Kalvari. Selamat merayakan Hari Raya Jumat Agung dengan penuh syukur dalam sikap apovatis!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar