Jumat Agung:Merayakan Ketiadaan “Tetapi”
OPINI | 21 April 2011 | 18:16
Diantara jutaan kata yang tertera, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “tetapi” adalah kata yang maknanya
tidak dapat berdiri sendiri. Ia hanya sebuah konjungsi yang
menghubungkan satu kalimat dengan kalimat lainnya atau untuk mengingkari
satu pernyataan dengan pernyataan lainnya. Fungsinya tidak lebih dari itu.
Akan
tetapi, pernahkah kita berpikir bahwa kata “tetapi” mempunyai sebuah
kekuatan yang dahsyat? Ia mampu menjungkirbalikkan sebuah kebenaran,
bahkan dunia ini sekalipun. Mengapa?
Manakala kata
“tetapi” dijadikan sebuah alat untuk menjungkirbalikan sebuah fakta,
maka di sinilah letak kelihaian manusia mempermainkan kata. Ketika hitam
dirasionalisasikan menjadi putih, maka nurani kian tumpul karena
kata ini.
Saya
dan anda secara sadar atau tidak sering menggunakan kata “tetapi”. Kita
mudah menyembunyikan aib, mengabaikan moral demi sebuah prestise,
reputasi, gengsi, dll, hanya dengan gesit berkelit menggunakan kata
“tetapi.” Sebuah kebenaran akan ternoda manakala ia diikuti oleh kata “tetapi,”
atau sebuah kesalahan mudah diadaptasi menjadi sebuah kalimat yang enak
didengar yang maknanya tidak seekstrem makna aslinya hanya dengan kata “tetapi.” Meskipun aslinya, kita bukan siapa-siapa dan bukan apa-apa. Namun manakala keaslian itu dinodai oleh kata “tetapi,” maka kita pasti menjadi “aspal” (asli tapi palsu).
Jikalau kita meringsek lebih jauh, satu hal yang begitu kontradiktif apabila kita membandingkan ke-aspal-an kita dengan cinta yang telah Yesus berikan. Yesus telah memberikan cintanya tanpa syarat; tanpa kata “tetapi.”
Ia tak pernah mengingkari salib berat yang dibebankan pada pundak-Nya.
Ia rela taat kepada kehendak Bapa-Nya untuk memanggul salib sebagai
jalan satu-satunya untuk menebus dosa manusia.
Mengapa
harus salib dan bukan yang lain? Inilah letaknya misteri cinta dari
Allah Tritunggal kepada manusia milik kepunyaan-Nya. Hal ini
mengingatkan kita juga akan misteri Natal yang telah kita rayakan atau
misteri “Inkarnasi” Putera Allah-Yesus Kristus-Sang Imanuel-Allah
beserta kita. Natal dan Paskah, Betlehem dan Kalvari, Inkarnasi dan
Salib adalah dua peristiwa penting yang tidak bisa dipisahkan untuk
memahami hakekat iman Kristiani. Dan persis pada dua misteri inilah,
sebagai manusia biasa: lidah kita menjadi kelu, mulut kita menjadi
bungkam, dan kita hanya mampu berlutut dan mengucap syukur atas
“Anugerah Allah yang terbesar dalam hidup kita, yakni: Yesus Kristus,
Putera Tunggal Allah sendiri yang telah menghampakan diri, menjadi sama
dengan manusia, untuk mengalami nasib manusia.”
Inilah sikap apovatis
atau diam, sujud, menyembah dengan penuh rasa terima kasih seperti para
gembala dan tiga majus dari Timur. Mereka kehabisan kata-kata, ketika
berhadapan dengan Yesus, bayi lemah yang terbaring di dalam palungan di
sebuah kandang yang hina dina. Begitu pun di atas Salib, ketika Yesus
telah menghembuskan nafas-Nya yang terakhir, kepala pasukan Romawi
kehabisan kata-kata dan hanya mampu meyembah dan berkata: “sungguh orang
ini Putera Allah.”
Sebagai
umat beriman, yang telah merayakan Natal pada Desember silam, kita
disentak kesadaran dari tidur panjang dan diantar masuk ke dalam salah
satu peristiwa penting iman kita yakni “misteri inkarnasi” Putera Allah.
Sama seperti Salib, kita pantas bertanya: “mengapa Yesus tidak datang
sebagai sorang Raja yang gagah perkasa, tetapi memilih dikandung oleh
seorang wanita sederhana dari pedalaman Nasareth: Maria? Mengapa Yesus
yang adalah Anak Allah, mau dilahirkan oleh seorang wanita dan
bergantung sepenuhnya pada pemeliharaan dan perawatan wanita ini baik di
dalam kandungan maupun setelah dilahirkan? Padahal Allah adalah
mahakuasa, dan dengan kemahakuasaan-Nya, Ia mampu hanya bersabda saja,
seperti ketika Ia menciptakan segala sesuatu hanya dengan Sabda-Nya dan
semuanya terjadi. Allah dengan kemahakuasaan dan kedigdayaan-Nya mampu
melakukan semuanya itu sendiri tanpa memerlukan Maria dengan meminta
persetujuan Maria via malaikat Gabriel. Bisa saja Yesus diutus untuk
menyelamatkan umat manusia, tanpa perlu menjadi seorang bayi lemah..lha wong
Dia mahakuasa kog!! Begitu pun dengan Salib. Allah tidak perlu memakai
salib sebagai sarana untuk menebus dosa umat manusia. Dia hanya bersabda
saja, maka semuanya selamat.
Akan
tetapi, kenyataan dari kedua peristiwa penting iman kita ini, Allah
tidak memakai kedigdayaan-Nya, melainkan menjadi bayi lemah, yang
dilahirkan di kandang di Betlehem tanpa gegap gempita dan sorak-sorai
keagungan seorang Raja yang gagah perkasa. Yesus pun tetap memilih untuk
taat memanggul salib-Nya ke puncak Kalvari demi dosa-dosa kita. Apa
penyebabnya?
Inilah
misteri cinta kasih Allah yang meluap-luap kepada manusia. Allah
mau mengambil rupa seorang hamba untuk menjadi sama seperti kita dalam
segala hal kecuali dalam hal dosa, dan taat sampai mati di kayu salib
untuk meyelamatkan kita agar kita diterima sebagai Anak-anak angkat
Allah dan boleh sama seperti Yesus menyebut Allah Bapa-Nya, sebagai Bapa
kita juga oleh karena kekuatan Roh Kudus yang telah dicurahkan dalam
hati kita. Inilah Allah yang mau berbela rasa dengan nasib umat manusia,
sehingga Ia rela menjadi “Allah yang beserta Kita” (Imanuel) melalui
inkarnasi dan salib, melalui Natal dan Paskah, melalui Betlehem dan
Kalvari. Allah mau mengalami bagaimana persisnya penderitaan kita, duka
dan air mata kita, bagaimana suka dan duka sebagai seorang manusia,
sehingga Ia rela merendahkan diri dan mengganggap kesetaraan dengan
Allah bukan sebagai milik yang harus dipertahankan, untuk menjadi
sepenuhnya manusia sama seperti kita mulai dari kelahiran-Nya
di Betlehem sampai wafat-Nya di Kalvari. Inilah misteri cinta Allah yang
dahsyat dan luar bisa, yang pantas kita terima dengan penuh syukur:
bahwa Ia mau menjadi manusia sama seperti kita kecuali dalam hal dosa
untuk menyelamatkan kita.
Sebagai
umat beriman kita tentu meyakini bahwa Yesus tidak harus mati pada kayu
palang dengan cara seperti itu sebagai konsekuensi kedigdayaanNya.
Namun kita perlu menelusuri realita yang terjadi secara de facto: ada apa di balik beban yanag Ia panggul itu.
Ada begitu banyak orang yang mengikuti Yesus saat Ia memanggul
salib-Nya, namun Ia toh tetap memikul salib-Nya seorang diri sampai
akhirnya Ia mati dengan tangan terentang di atas kayu salib. Seorang
filsuf pernah menguraikan dan menafsirkan apa arti rentangan kedua
tangan Sang Juru Selamat yakni: begitulah besarnya cinta Yesus kepada
manusia dan tidak ada cinta yang lebih besar dari itu, cinta seorang
yang mau memberikan nyawah-Nya sendiri sebagai bagi para sahabat-Nya.
Karena itu, sungguh sebuah tragedi sekaligus ratapan bagi Yesus -ketika dengan gigih Ia memanggul salib tanpa alasan …..”tetapi ini kan untuk manusia“-,
kita malah hadir di tengah keletihan dan kedahagaan Yesus sambil
melontarkan pertanyaan: Yesus kutanya apa sebabnya kau panggul salib ke
Golgota, dalam lagu-lagu kita. Kalau kita berdalih: “……”tetapi”
itukan hanya nyanyian yang mesti kita nyanyikan”. Lantas dimana
kesadaran kita? Dapat ditarik sebuah konklusi bahwa kita bernyanyi tanpa
sebuah kesadaran dan pengetahuan bahwa Ia memanggul salib demi cintaNya
yang begitu besar untuk kita.
Cinta
kasih Allah yang takterlukiskan dengan kata-kata adalah “kunci
hermeunetis” untuk memahami makna inkarnasi dan salib, Betlehem dan
Kalvari. Selamat merayakan Hari Raya Jumat Agung dengan penuh syukur
dalam sikap apovatis!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar